Ekonomi Atensi: Mata Uang Baru di Era Digital 5.0

Sumber: Brikolase

Seiring berjalannya waktu, peradaban manusia terus mengalami transformasi. Saat ini, di era 5.0, teknologi bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bangun tidur, hal pertama yang dicek biasanya notifikasi WhatsApp, TikTok, atau Instagram. Saat berbelanja, kita tak lagi harus mengunjungi toko fisik, cukup menggunakan aplikasi e-commerce, kebutuhan sudah bisa terpenuhi. Sadar atau tidak, sebagian besar keputusan ekonomi sehari-hari sudah dipengaruhi oleh teknologi. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyoroti data yang menunjukkan rata-rata screen time orang Indonesia mencapai 7,5 jam per hari. Artinya, tidak menutup kemungkinan bahwa banyak orang Indonesia memiliki waktu menatap layar digital lebih lama. Itu menandakan hampir sepertiga hari digunakan hanya untuk menatap layar, sementara sisa waktu lainnya dibagi untuk tidur, makan, bekerja/belajar, dan aktivitas lainnya. Dengan screen time sebesar itu, lantas apa yang menjadi fokus utama media digital? Jawabannya ialah perhatian (atensi) manusia.

Fenomena “Ekonomi Atensi”

Di era digital 5.0, kecerdasan buatan dan algoritma memetakan perilaku manusia lebih presisi dari sebelumnya. Fenomena ini juga berkaitan dengan istilah “ekonomi atensi”, yakni ketika fokus manusia menjadi komoditas yang bernilai, dan teknologi juga memetakannya untuk dikomersialisasi. Dalam konsep ekonomi, dijelaskan bahwa manusia mengambil keputusan berdasarkan prinsip rasionalitas dan efisiensi, yakni memilih barang atau jasa yang memberikan manfaat tertinggi dengan biaya paling minim dikarenakan alat pemuas kebutuhan terbatas. Di era digital 5.0, khususnya pada ekonomi atensi, sumber daya yang paling terbatas bukan lagi uang, melainkan perhatian. Waktu dan fokus kita terbatas, hanya 24 jam dalam sehari, sementara ribuan hal, seperti informasi, hiburan, dan konten lainnya berebut ruang di layar kita. Davenport dan Beck (2001) pertama kali mendefinisikan “ekonomi atensi” sebagai pendekatan pengelolaan informasi yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas langka dan menerapkan teori ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah pengelolaan informasi.

Menurut artikel yang diterbitkan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM yang berjudul “Ekonomi Kuning” (disebut juga ekonomi atensi), pada tahun 2000-an informasi yang dihasilkan di seluruh dunia sangat melimpah, tetapi hanya 0,5% pada tahun 2015 yang dianalisis. Hal tersebut mengakibatkan informasi menjadi relatif murah, sementara harga atensi telah mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, perhatian menjadi sesuatu yang langka, sehingga teknologi kini ditujukan untuk mengoptimalkan perolehan perhatian dari masyarakat. Dalam ekonomi atensi, konten bukan lagi sekadar sarana ekspresi, melainkan alat untuk menyerap perhatian manusia sebanyak mungkin. Banyak konten seperti brainrot atau hiburan absurd berdurasi singkat seperti video TikTok atau Reels yang sengaja dirancang untuk memberi dopamin instan setiap kali kita menontonnya.

Konten provokatif dibuat untuk menyalakan rasa ingin tahu dan emosi negatif. Semuanya sengaja dibuat untuk menahan mata audiens selama mungkin. Konten semacam itu bisa menghasilkan engagement yang tinggi, bisa dalam bentuk komisi, kerja sama dengan pihak luar, maupun peningkatan popularitas karena menarik banyak audiens yang menimbulkan budaya “viral”. Namun di sisi lain, dampaknya bagi audiens justru negatif, mereka menjadi kecanduan sehingga daya fokus menurun dan penggunaan media sosial menjadi berlebihan. Di sinilah dampak ekonomi atensi bertolak belakang dengan tujuan SDGs, pada poin “Kehidupan Sehat dan Sejahtera”.

Dari sisi perekonomian, konsep “viral” sekilas memang tampak menguntungkan. Produk yang viral bisa mendongkrak omzet secara instan. Semua pedagang pun berlomba-lomba membuat konten paling menarik agar mendapat sorotan algoritma. Namun, karena algoritma yang begitu cepat dan banyak orang yang melakukan hal yang sama, hal yang viral hanya bertahan dalam waktu singkat. Awalnya, pelaku usaha kewalahan memenuhi permintaan karena produknya viral. Setelah tren berlalu, penjualan pun menurun, produk yang sudah terlanjur diproduksi untuk stok pun menjadi menganggur. Secara tidak langsung, hal ini dapat menunjukkan bahwa produk yang dibeli masyarakat itu sebagian besar bukan karena dibutuhkan, tetapi adanya budaya “FOMO” atau takut ketinggalan tren. Dalam jangka panjang, budaya FOMO (Fear of Missing Out) yang lahir dari sistem ini justru membuat masyarakat terjebak dalam konsumsi yang impulsif.

Menurut Tempo, salah satu pemicu FOMO adalah penggunaan gawai tanpa kenal waktu untuk kepentingan di media sosial. Ini menunjukkan bahwa bagi mereka yang takut tertinggal tren, pengetahuan dan pengalaman terhadap tren terbaru akan menjadi mata uang sosial yang baru. Mereka akan melakukan segala cara, misalnya menghabiskan uang untuk hal yang tidak terlalu penting (konsumtif) untuk sekadar membeli produk viral, mengunjungi tempat viral, dan lain sebagainya. Hal itu mereka lakukan demi mendapat validasi bahwa mereka “ada” dan “up to date” di dunia sosial ini. Lagi-lagi, terdapat dampak ekonomi atensi yang bertolak belakang dengan tujuan SDGs, pada poin “Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab”.

Pernah melihat berita dengan judul terkesan ambigu atau provokatif, namun setelah dikritisi lebih dalam, isi beritanya hampir tidak sesuai atau tidak sepadan dengan kesan di judulnya? Itu merupakan fenomena “clickbait”, yakni salah satu cara media untuk mendapatkan banyak atensi massa agar mau mengklik beritanya. Setelah itu,
mereka akan mendapatkan pendapatan iklan yang lebih atau kepentingan pribadi lainnya. Hal ini berkaitan dengan ekonomi atensi, di mana perhatian manusia dijadikan komoditas yang diperebutkan. Clickbait tidak hanya menipu pembaca, tetapi juga dapat merusak kredibilitas media dan menurunkan kualitas informasi yang beredar. Selain itu, ketika pembaca berhenti pada judul atau mungkin hanya membaca sebagian kecil dari berita, tanpa menyaring atau mengecek fakta-fakta yang disajikan, akan menyebabkan informasi yang salah mudah menyebar luas.

Terlepas dari berbagai dampak negatif tersebut, ekonomi atensi tidak dapat dipandang sepenuhnya sebagai hal negatif. Hal ini sejatinya merupakan konsekuensi dari perkembangan teknologi digital yang berorientasi pada efisiensi dan inovasi. Masyarakat perlu sadar bahwa waktu adalah aset yang tak bisa dibeli kembali. Setiap detik yang dihabiskan menatap layar bernilai ekonomi yang diukur dalam klik, tayangan, dan durasi tontonan. Saat inilah algoritma bekerja, menghidangkan konten yang paling mampu menahan kita di depan layar selama mungkin. Maka, tugas kita bukanlah menolak teknologi, melainkan mengembalikan kendali atas perhatian kita. Makin banyak orang
sadar bahwa perhatian mereka bernilai, bisa menjadi titik awal untuk membangun literasi digital yang baik dan mendorong berpikir kritis. Karena di era saat ini, menolak globalisasi bukanlah keputusan yang ideal, melainkan diperlukannya kebijaksanaan dalam menyikapinya.

REFERENSI

  • Berita Sriwijaya. (2025, Juni 20). Bahaya Clickbait: Mengungkap Dampak Negatif dari Judul yang Menyesatkan.
  • Antara. (2024, Oktober 1). FOMO Akibat Pengaruh Media Sosial, Perilaku Tak Masuk Akal yang Mengancam Kesehatan Mental.
  • Ardhytama, G. (2025, Oktober 3). Ekonomi Atensi: Bagaimana Algoritma dan Hal-Hal Viral Mengendalikan Dompet dan Pikiran Kita.
  • Mukorrobah, N. K. (2025, Januari 6). Kenali 17 Tujuan SGDs dan Penjelasannya.
  • Rangga. (2024, Mei 23). “Click Bait”, Baik atau Buruk?
  • Suryandari, R. (2024, Mei 28). Ekonomi Kuning. Diakses dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada.

Penulis: Putu Dewi Sariani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *